Sintren, Sebuah Seni Dengan Unsur Magis
Sintren merupakan kesenian rakyat yang telah mengakar di pesisir utara Jawa, khususnya Cirebon & Indramayu. Ada beberapa pengertian tentang sintren. Ada yang menafsirkan bahwa sintren berasal dari kata sesantrian, yang artinya meniru perilaku dan cara berpakaian santri. Ada pula yang menafsirkan sintren itu berasal dari kata sintru, yang artinya angker. Apapun pengertian dari sintren, kesenian ini memang unik, bahkan kalau bisa dibilang penuh unsur magis di dalamnya, namun tetap mempesona.
Kesenian sintren terdiri dari juru kawih atau sinden, diiringi beberapa alat musik, seperti gamelan, sebuah alat musik pukul menyerupai gentong, rebana, gendang, gong, dan kecrek. Sebelum pertunjukan dimulai, seorang sinden menyanyikan sebuah tembang yang dimaksudkan untuk memanggil para penonton agar segera berkumpul. Sang sinden biasanya menembang sebanyak dua kali. Pertama dimaksudkan untuk mengundang penonton, dan berikutnya bertujuan memanggil seorang sintren keluar. Syair tembang yang pertama berbunyi sebagai berikut: Tambak tambak pawon. Isie dandang kukusan. Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul. Sedangkan syair tembang yang kedua berbunyi sebagai berikut: Kembang trate. Dituku disebrang kana. Kartini dirante Kang rante aran mang rana.
Unsur magis dalam pertunjukan sintren terlihat dengan adanya juru sintren yang bertugas memanggil bidadari. Bidadari ini kemudian merasuk di dalam raga pesintren. Pemain sintren diharuskan perempuan yang masih gadis belia antara usia 15-16 tahun, dan masih perawan. Dan syarat ini tak boleh dilanggar. Alasannya, jika seorang sintren tidak lagi perawan, bidadari yang dipanggil dari kahyangan tidak akan turun ke dalam arena pertunjukan. Rohnya tidak akan sudi merasuk ke diri seorang sintren. Bidadari harus bersih.
Pertunjukan sintren layaknya permainan sulap. Diiringi tetabuhan khas daerah pesisir, sintren diikat dengan seutas tali, dari mulai leher hingga kaki. Secara akal sehat, sang penari tak bisa lagi bergerak, apalagi melepaskan tali itu dalam waktu yangs angat singkat. Kemudian sintren dibaringkan di atas tikar dan dibungkus dengan tikar tersebut. Selanjutnya sintren dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang telah ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Dalam prosesi ini, pawang sintren membawa pedupaan, tempat kemenyan dibakar, serta membaca doa. Suasana mistis mendadak muncul. Itulah saat di mana bidadari sudah turun dari kahyangan, berada di sisi penari sintren dan merasuk. Sinden berulang-ulang menembang, sebagai berikut: gulung-gulung kasa. Ana sintren masih turu. Wong nontone buru-buru. Ana sintren masih baru.
Tanpa bantuan orang lain, secara logika, tak mungkin sintren bisa meloloskan diri dari ikatan tali dan berganti pakaian begitu cepat. Tapi, ketika kurungan dibuka sintren telah berganti pakaian, dan tali pun sudah lepas. Ajaib memang. Kemudian sintren menari dengan monoton, lucunya sintren menari menggunakan kacamata hitam. Para penonton yang berdesak-desakan mulai melempari sintren dengan uang logam, dan begitu uang logam mengenai tubuhnya, maka sintren akan jatuh pingsan. Sintren akan sadar kembali dan menari setelah diberi jampi-jampi oleh pawang. Fenomena ajaib ini sampai sekarang belum bisa dijelaskan secara ilmiah. Di kalangan masyarakat, gadis-gadis berlomba untuk menjadi sintren. Menurut kepercayaan umum, gadis-gadis yang menjadi seintren akan cepat mendapatkan jodoh. Bermain sintren tak selamanya memerlukan panggung. Mereka dapat juga bermain di halaman rumah, meski beralas tikar.
Sintren Sebagai Simbol Kebebasan
Memang belum ada kesepakatan tentang kapan kesenian sintren ini muncul. Namun ada satu informasi yang sedikit banyak menerangkan hal tersebut. Rumekso Setyadi yang menulis Masa Lalu Kolonial dalam Sintren Masa Kini dalam buku Penghibur(an) Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia mengemukakan bahwa transformasi kekuasaan di pesisir dari kekuasaan Mataram ke pemerintah kolonial ditengarai sebagai munculnya kesenian sintren ini. Menurutnya, sintren adalah kesaksian dari sebuah kebudayaan kolonial yang pernah berkembang di kalangan elite birokrasi Eropa dan aristokrat pribumi, yaitu kegemaran berpesta dan dansa-dansi mewah di gedung-gedung pertunjukan. Untuk meniru gaya borjuasi kolonial, rakyat membuat suatu bentuk kesenian yang merupakan ekspresi imitasi dari sebuah produk kebudayaan elite dan kemudian terciptalah sintren.
Menurut pelaku seniman tradisional Cirebon, sintren pernah digunakan sebagai alat perlawanan pada masa kolonial dahulu melalui syair-syair dalam lagunya. Sintren mulai dikenal dan populer pada 1940-an. Pada periode 1950-an, sintren banyak dimanfaatkan oleh puluhan partai yang berebut kekuasaan. Namun, perkembangan sintren mulai redup sejak masa Orde Baru.Terlepas dari itu, menurut saya, kesenian sintren merupakan perlambang kebebasan. Ini dapat kita lihat dari bentuk pertunjukannya. Adegan saat sintren diikat dengan seutas tali dan dimasukkan ke dalam kurungan, itu merupakan lambang kebebasan yang direnggut. Saat sintren terbebaskan dari tali yang mengikatnya merupakan simbol kebebasan. Diikuti dengan menari sebagai ekspresi dari kebebasan tadi. Berat dugaan saya, sintren muncul pada saat zaman kolonial, sebagai ekspresi sindiran pada penguasa. Benar atau tidaknya perlu dilakukan kajian lebih mendalam lagi.
Sekarang, sintren biasanya digelar pada upacara pernikahan/hajatan atau upacara laut. Tidak hanya di Cirebon, sintren juga dapat ditemui di daerah-daerah pesisir lainnya, seperti Pamanukan, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Bahkan sintren juga bisa ditemui di Pekalongan, Tegal, dan Batang, Jawa Tengah. Belakangan, kesenian ini jarang ditemui, bahkan di tempat lahirnya sekalipun. Seperti halnya kesenian tradisional lain, sintren mulai tersisih oleh bentuk kesenian dan hiburan modern. Lalu, apakah kita membiarkan begitu saja kesenian tradisional yang menyejarah ini punah? Bukankah sintren merupakan salah satu kekayaan budaya kita? Semoga saja tidak.