Sekitar tahun 1480 Masehi, di Desa Sindangkasih Majalengka terdapat Ratu bernama Nyi Rambut Kasih. Ia keturunan Prabu Siliwangi yang masih teguh memeluk Agama Hindu. Keberadaannya di Majalengka bermula untuk menemui saudara di daerah Talaga bernama Raden Munding Sariageng, suami dari Ratu Mayang Karuna yang memerintah di Talaga. Di perbatasan Majalengka dengan Talaga, Ratu mendengar bahwa Talaga sudah masuk Islam. Sehingga ia mengurungkan maksudnya dan menetaplah di Sindangkasih. Daerah tersebut meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati.
Perhatiannya pada bidang pertanian sangat baik. Ia membangun saluran air dari Beledug menuju Cicurug hingga Munjul.Sehingga pertanian terus berkembang dan tidak pernah kekurangan air. Sekitar tahun 1485 putera Raden Rangga Mantri yang bernama Dalem Panungtung diperintahkan menjadi Dalem di Majalengka. Sehingga pemerintahan Nyi Rambut Kasih terjepit oleh pengaruh Agama Islam.
Sekitar tahun 1489, Pangeran Muhammad dan istrinya Siti Armilah atau Gedeng Badori dari Cirebon diperintahkan mendatangi Nyi Rambut Kasih. Tujuannya agar Ratu dan Kerajaan Sindangkasih masuk Islam. Selain itu Kerajaan Sindangkasih masuk kawasan Kesultanan Cirebon. Nyi Rambut Kasih menolak, sehingga timbul pertempuran antara pasukan Sindangkasih dengan pasukan Kesultanan Cirebon. Kerajaan Sindangkasih menyerah dan masuk Islam. Sedangkan Nyi Rambut Kasih tetap memeluk Hindu.
Sejak saat itu, tahun 1490, muncul Candra Sangkala Sindangkasih Sugih Mukti. Hal tersebut menjadi Visi Kabupaten Majalengka, yakni “Terwujudnya masyarakat Sindangkasih Sugih Mukti Bagja Raharja”.
Daerah-daerah yang masuk Daerah Kesultanan Cirebon, dan telah semuanya memeluk Agama Islam adalah Pemerintahan Talaga, Maja, Majalengka. Penyebaran Agama Islam di Majalengka diawali dengan para Bupati yang memeluk Islam. Penyebaran Islam juga dilakukan oleh Dalem Sukahurang dan Dalem Panuntun di Maja serta Pangeran Suwarga di Talaga. Kemudian Pangeran Muhammad, Siti Armilah, Nyai Mas Lintangsari, Wiranggalaksana, Salamuddin, Puteran Eyang Tirta, Nursalim, RH Brawinata, Ibrahim, Pangeran Karawelang, Pangeran Jakarta, Sunan Rachmat di Bantarujeg.
Pada 1650, pengaruh Mataram masuk ke Majalengka, karena Cirebon telah menjadi kekuasaan Mataram. Waktu itu Cirebon dipegang oleh Panembahan Ratu II atau Sunan Girilaya.
Pada 1628, Tumenggung Bahureksa diperintahkan Sultan Agung untuk menyerang Batavia. Untuk menyediakan perbekalannya, mereka mendirikan loji-loji di daerah Majalengka bagian Utara. Loji-loji tersebut banyak didirikan di Jatiwangi dan Jatitujuh. Mataram berpengaruh besar terhadap Majalengka. Banyak orang Mataram yang tidak sempat kembali dan menetap di Majalengka.
Tahun 1705, seluruh Jawa Barat masuk kekuasaan Hindia Belanda. Pada 1706 Belanda menetapkan Pangeran Aria Cirebon sebagai Gubernur untuk seluruh Priangan. Para bupati diberi wewenang untuk mengambil pajak dari rakyat, termasuk Majalengka bagi kepentingan upeti kepada Belanda. Paksaan penanaman kopi di daerah Maja, Rajagaluh dan Lemahsugih mengakibatkan banyak rakyat kelaparan.
Tidak hanya tanam paksa kopi. Belanda juga memaksa rakyat untuk menanam lada, tebu dan tanaman lain yang laku di Eropa. Hal ini semakin menambah berat beban rakyat. Sehingga kesengsaraan dan kelaparan terjadi di mana-mana.
Tahun 1805 terjadi pemberontakan yang menentang kesewenangan Belanda. Gerakan itu dipimpin oleh Bagus Rangin dari Bantarjati. Pertempurannya terjadi di daerah Pangumbahan. Pasukan Bagus Rangin kalah dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda. Tanggal 12 Juli 1812 Bagus Rangin menerima hukuman penggal kepala di Kali Cimanuk dekat Karangsambung.