Selama berpuluh-puluh tahun eksistensi berbagai jenis seni pertunjukan di tatar Cerbon-Dermayu sulit dilepaskan dari acara hajatan. Seperti simbiosismutualime, ada hubungan saling bergantung dan saling untung. Kesenian dihidupsuburkan karena banyaknya order acara hajatan, dan hajatan menjadi meriah, berkesan, dan bermakna karena kreasi kesenian. Hajatan keluarga, seperti khitanan, perkawinan, rasulan, puputan, ruwatan, ataupun syukuran lainnya senantiasa membutuhkan kesenian daerah. Demikian pula hajatan desa atau kelompok masyarakat, seperti mapag sri, sedekah bumi, ngunjung, barikan/baritan, nadran, ataupun ngarot. Di wilayah kultural yang meliputi Kab. dan Kota Cirebon, Kab. Indramayu, wilayah utara Kab. Majalengka, utara Kab. Subang, dan utara Kab. Karawang, hingga ke sebagian Kab. Brebes dan Tegal tersebut, simbiosis itu tampak.
Wayang golek cepak/menak, misalnya, pada dasawarsa 1950-an hingga 1970-an termasuk jenis kesenian yang laris-manis, karena kebutuhan khusus untuk acara ngunjung, barikan/baritan, atau hajatan keluarga. Tidaklah heran jika seorang dalang wayang golek cepak bisa mendapatkan order hingga 20 panggungan/bulan. Cerita babad desa, penyebaran Islam, ataupun para sahabat Nabi yang menjadi inti cerita kesenian tersebut, sangat digandrungi penonton saat itu.
Tampaknya hajatan bukan hanya hiburan dan kemeriahan, ada kebutuhan lain yang lebih mendasar, yakni kontemplasi. Tidak heran pula jika wayang kulit senantiasa dihadirkan pada acara nadran untuk menghadirkan kembali pemahaman bahwa lautan adalah sisi penting kehidupan nelayan melalui lakon budug basu. Begitu pula lakon-lakon lain pada hajatan keluarga sebagai penghayatan kembali atas realitas sosial-politik melalui wayang yang disajikan secara tragis maupun satir.
Sesuatu yang diidealkan, dengan cerita berlatar kerajaan atau kesultanan pada zaman yang entah, dihadirkan seni sandiwara (semacam ketoprak).Gambaran ideal putri raja yang cantik, pangeran yang tampan, raja yang sakti, permaisuri yang sabar, patih yang bijaksana, ataupun tokoh antagonis berupa buta (raksasa) yang jahat seakan-akan mengidealkan bagaimana negara harus mampu memakmurkan rakyatnya. Itulah sebabnya, seni sandiwara meraih booming hingga dekade 1990-an.
Sebagai masyarakat agraris, wong Cerbon-Dermayu menemukan apresiasi atas rutinitas kesehariannya pada kesenian tarling. Di situ ada realitas sosiokultural: majikan dan buruh pada masyarakat tani, juragan dan bidakpada nelayan, situasi yang mengetengahkan realitas sugih (kaya) dan mlarat(miskin). Akan tetapi tarling mengemas kesedihan dan kegembiraan dengan estetika yang membumi. Dalam acara hajatan tersebut, lapisan bawah dan atas seakan-akan menemukan daya intuisinya dan bersama-sama bisa menertawakan dirinya.
Selera Massa
Akan tetapi sebagaimana sebuah hubungan, ternyata tidak selamanya berjalan baik dan mulus. Ada saat-saat indah dan romantis, ada juga saat-saat renggang, jauh, bahkan terjadi perceraian. Hajatan keluarga maupun hajatan desa tetap berjalan, namun di sisi lain beberapa jenis kesenian kurang terpakai lagi.
Hajatan memiliki sifat dan karakternya sendiri yang berkonotasi sebagai pemberi order. Sebagai pemberi oder, ia memiliki kekuasaan yang tak terbatas, atau dengan kata lain pembeli adalah raja. Ada pertimbangan selera, trend, dan tujuan tertentu untuk menghadirkan sebuah grup kesenian. Tidaklah heran unsur-unsur tersebut senantiasa berubah pada hampir setiap dekade. Sikap pragmatis bahkan ditunjukkan pada hajatan desa. Ngunjung,sedekah bumi atau mapag sri acapkali tidak lagi menghadirkan wayang, tetapi diganti sandiwara.
Jika pada dekade 1960-an hingga 1970-an wayang golek cepak/menak, tari tayuban, dan tari topeng berjaya, pada dekade selanjutnya tidak demikian. Begitu pula pada dekade 1970-an hingga 1980-an tarling dan sandiwara mencapai masa keemasan, dekade berikutnya mengalami kelesuan. Dekade berikutnya tampak marak tarling dangdut, di susul organ tunggal, trio organ, lalu kembali menampilkan drama tarling dengan iringan ”orkestra” tarling secara lengkap, hal itu juga tak bisa dipungkiri karena perubahan selera, trend, dan tujuan tertentu pemberi order atau massa.
Kesenian Massa
Kesenian, dalam hal ini, berada pada posisi yang lemah. Ia memiliki sifat dan karakter hanya sebagai penunggu dan pengharap order, penghibur selera dan trend belaka, pelepas penat dan lelah, dan semata-mata hanya meramaikan dan memeriahkan. Tidaklah heran, meskipun wayang kulit dan sandiwara hingga kini masih tampak eksis, seringkali rata-rata penonton lebih serius untuk nyawer dan minta namanya disebut dalam tembang pesinden. Keseriusan ini berdampak pada inti cerita, yang seringkali tak selesai walaupun pertunjukan telah usai.
Pada pertunjukan organ tampak lebih serius lagi dalam hal nyawer. Ada situasi psikologi tertentu yang memuat massa luruh dalam kegembiaraan bersama. Dulu, situasi ini terbatas pada kalangan tertentu pada pertunjukan tari tayuban dekade 1950-an hingga 1980-an. Kini, siapapun bisa melakukannya, sekalipun dengan lembaran receh sambil berjoget bersama dan namanya disebut-sebut penyanyi yang acapkali tampil menggoda.
Bertambahnya jumlah lulusan SLA hingga sarjana, atau naiknya strata sosial dan ekonomi, seakan-akan tak seiring sejalan dengan mutu kesenian massa. Tidak heran pula, bila daya apresiasi pun ikut terimbas. Kesenian tarling, misalnya, mengalami distorsi karena dianggap hanya lagu-lagu dangdut berbahasa Cirebon belaka. Lebih parah lagi pada pertunjukan organ, anak-anak kecil pun terbiasa dicekoki seperti situasi joget dalam ruang diskotik.
Situasi inilah yang membuat kesenian selalu manut, tetapi gamang. Selera massa menjadi suatu keniscayaan, dan substansi seni menjadi tercerabut. Pada akhirnya, hubungan ini sulit dikatakan sebagai saling bergantung dan saling untung atau simbiosis mutualisme. Hubungan ini lebih tepat sebagai simbiosis parasitisme.